Banten,--Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin (UIN SMH) Banten menyelenggarakan Diskusi Publik bertajuk “Pemakzulan Gibran: Jalan Konstitusional atau Manuver Politik”. Kegiatan ini dilaksanakan di pelataran Fakultas Ushuludin dan Adab dan diikuti oleh mahasiswa lintas fakultas, organisasi kemahasiswaan, serta pengamat politik kampus. Pada selasa 24 Juni 2025,
Diskusi dimulai pukul 16.00 WIB hingga 17.50 WIB, membahas isu pemakzulan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka yang saat ini menjadi sorotan dalam dinamika politik nasional pasca-Pemilu 2024. Forum ini menghadirkan beberapa narasumber kompeten dari kalangan akademisi dan aktivis mahasiswa.
Misbah Alamsyah Wakil Presiden Mahasiswa UIN SMH Banten memberikan sedikit himbauan dengan menegaskan pentingnya mahasiswa bersikap kritis, rasional, dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip demokrasi yang sehat.
“Isu politik itu wajar dikritisi. Tapi, mahasiswa harus cerdas memilah mana kritik objektif berbasis hukum, mana sekadar isu liar. Demokrasi itu ruang terbuka, tapi tetap dalam bingkai konstitusi,” ujarnya dalam sambutan.
Mengenai Aspek Konstitusional dan Manuver Politik dibahas oleh pemateri pertama yang bernama Faidulah Al Kamal beliau salah satu Menteri Luar Negeri di Dema UIN SMH Banten sekaligus aktivis muda yang sangat lantang membahas isu-isu Nasional. Ia menjelaskan bahwa proses pemakzulan di Indonesia memiliki jalur konstitusional yang ketat dan tidak bisa dijalankan hanya berdasarkan opini atau tekanan politik.
“Harus ada bukti hukum nyata, prosedur yang jelas, dan dasar hukum yang kuat. Tanpa itu, pemakzulan hanya akan jadi komoditas politik,” terang Faidulah.
Ia juga menyebut bahwa sementara ini isu tersebut masih bersifat hipotesis politik, dimainkan dengan isu etika, konflik kepentingan, dan politik dinasti.
Adapun pembahasan mengenai Catatan Politik dan Budaya Demokrasi yang di jelaskan oleh pemateri kedua yang bernama Wildan Mufti Maqi, aktivis politik kampus dan pengamat sosial-politik nasional, menyoroti aspek sosial dan budaya politik Indonesia. Menurutnya, wacana ini mencerminkan kondisi politik yang masih dominan dikendalikan elit.
“Idealnya, demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Tapi dalam praktiknya, seringkali jadi dari rakyat, oleh rakyat, untuk golongan tertentu,” jelas Wildan.
Ia juga mengingatkan pentingnya peran partai politik sebagai infrastruktur politik yang ideal, serta lembaga negara yang seharusnya menghasilkan produk hukum berpihak pada kepentingan umum, bukan elite kekuasaan. Wildan menutup dengan pesan agar masyarakat, khususnya mahasiswa, lebih cerdas memilah informasi di era digital.
Diskusi menyimpulkan bahwa wacana pemakzulan Gibran saat ini belum memiliki dasar hukum konkret dan lebih bersifat wacana politik. Namun demikian, mahasiswa harus terus mengawal jalannya demokrasi, menegakkan konstitusi, dan berperan aktif sebagai kontrol sosial terhadap dinamika politik nasional.
DEMA-U UIN SMH Banten berharap kegiatan diskusi seperti ini dapat terus menjadi ruang dialektika kritis mahasiswa untuk menyikapi isu-isu strategis nasional secara objektif, ilmiah, dan bertanggung jawab.
Tim
0 Komentar